Artikel

Kumpulan Yurisprudensi Kebatalan Perjanjian

Kumpulan Yurisprudensi Kebatalan Perjanjian[1]

 
  1. Kebatalan Perjanjian Karena Tidak Memenuhi Syarat Objektif Sahnya Perjanjian, yaitu Kesepakatan Para Pihak, Sebagaimana Diatur dalam Pasal 1320 BW
Putusan MA RI No. 3335 K/PDT/2003 Tanggal 14 Juni 2005 menyatakan bahwa perjanjian batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 1320 BW, yaitu adanya kesepakatan para pihak. Dalam kasus ini, salah satu pihak namanya tercantum di dalam perjanjian, sementara pihak tersebut tidak pernah menyepakati perjanjian tersebut. Oleh karena itu, apabila terbukti demikian maka perjanjian harus dibatalkan. Dalam Yurisprudensi MA RI No. 1974 K/PDT/2001 Tanggal 29 September 2003 diterangkan bahwa perjanjin peralihan hak atas tanah batal demi hukum apabila akta jual-beli tanah dinyatakan cacat hukum oleh karena pemalsuan tanda tangan. Namun, mengenai pemalsuan tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu melaluipemeriksaan laboratorium kriminologi atau ada putusan pidana yang menyatakan tanda tangan dipalsukan. Apabila terbukti palsu, yang berarti pihak yang berhak belum/tidak melakukan kesepakatan maka perjanjian harus dibatalkan demi hukum.
  1. Kebatalan Perjanjian Karena Tidak Memenuhi Syarat Objektif Sahnya Perjanjian, yaitu Hal Tertentu, Sebagaimana Diatur dalam Pasal 1320 BW Putusan
MA RI No. 406 K/PDT/2007 Tanggal 15 Agustus 2008 dan Putusan MA RI No. 1790 K/PDT/2008 Tanggal 20 Februari 2009 menerangkan bahwa suatu perjanjian yang tidak ada objeknya/prestasinya harus batal demi hukum karena tidak sejalan dengan Pasal 1320 BW, yang mensyaratkan bahwa perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu. Perjanjian yang tidak mengandung suatu hal tertentu dapat dikatakan tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Sebagai contoh, seperti yang terdapat di dalam kasus dalam Putusan MA No. Reg. 309 K/PDT/1997, Putusan MA No. Reg. 1783 K/PDT/2008, dan Putusan MA No. Reg. 1233 K/PDT/2006, yang menyatakan bahwa perjanjian jual-beli tanah yang dilakukan oleh para pihak dinyatakan batal demi hukum karena tanah yang dijadikan objek perjanjian tidak dalam keadaan bebas atau tidak tertentu, berkaitan dengan lokasi dan luas atau batas-batas tanah tersebut. Selain itu, perjanjian jual-beli tanah juga dapat dinyatakan batal demi hukum apabila tanah yang dijadikan objek jualbeli ternyata masih menjadi sengketa dalam kasus lain di pengadilan, atau masih diletakkan dalam sita jaminan di dalam kasus lain di pengadilan.
  1. Kebatalan Perjanjian Karena Tidak Memenuhi Syarat Objektif Sahnya Perjanjian, yaitu Sebab yang Halal, sebagaimana Diatur dalam Pasal 1320 BW
Yurisprudensi MA RI No. 147K/SIP/1979 Tanggal 25 September 1980 serta Putusan MA RI No. 3335 K/PDT/2003 Tanggal 14 Juni 2005, perjanjian jual-beli dianggap tidak sah karena mengandung suatu sebab yang dilarang oleh undang-undang (ongeoorloofdeoorzaak). Dengan demikian, sebab tersebut tidak halal sehingga tidak memenuhi syarat objektif perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW. Contoh lainnya adalah Putusan MA RI No. 209 K/PDT/2000 Tanggal 26 Februari 2002, yang batal demi hukum atas perjanjian kredit karena objek yang diperjanjikan adalah harta bersama sehingga apabila hendak dijaminkan/dialihkan kepada pihak lain oleh suami, harus mendapatkan persetujuan dari istri sebagai pihak yang berhak. Jika tidak maka perjanjian tersebut terjadi tanpa alas hak karena objek perjanjian merupakan hak orang lain. Putusan MA RI No. 5072 K/PDT/1998 Tanggal29 September 2003 juga menegaskan bahwa perjanjian jual-beli atas suatu objek yang kepemilikannya belum pasti adalah batal demi hukum karena tanpa alas hak yang sah dan tidak memenuhi syarat halalnya dasar perjanjian tersebut.
  1. Kebatalan Karena Hak Membeli Kembali Objek dalam Perjanjian Jual-beli
Putusan MA No. 381/PK/PDT/1986 dan Yurisprudensi MA No. Reg. 3597 K/PDT/1985 menyatakan bahwa perjanjian jual-beli tanah dengan hak membeli kembali, yang dilakukan oleh para pihak dalam kasus tersebut, dinyatakan batal demi hukum karena jual-beli tanah dengan hak membeli kembali tidak dikenal dalam hukum adat. Jual-beli dengan hak membeli kembali merupakan bentuk perjanjian menurut Pasal 1519 dan seterusnya BW. Jual-beli tanah/rumah harus mengikuti ketentuan di dalam UU Pokok Agraria (UUPA) yang dikuasai oleh hukum adat, dan hukum adat tidak mengenal bentuk jual-beli dengan hak membeli kembali. Putusan MA RI No. 153 K/PDT/2001 a) Perjanjian jual-beli tanah dengan hak membeli kembali pada hakikatnya adalah sama dengan gadai gelap/bank gelap, yang keduanya adalah ilegal. b) Perjanjian jual-beli dengan hak membeli kembali tersebut, menurut Mahkamah Agung RI adalah batal demi hukum, oleh karena semenjak berlakunya UUPA No. 5/1960 telah ditentukan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah berdasarkan Hukum Adat. Hal ini berarti Lembaga Hukum Jual-beli dengan Hak Membeli Kembali sejauh mengenai tanah, tidak lagi dikenal dalam Hukum Agraria kita. c) Bahwa dengan demikian maka Perjanjian Jual-beli Tanah dengan Hak Membeli Kembali atas tanah sengketa adalah batal demi hukum. Karena itu menjadi batal demi hukum juga, Perjanjian Jual-beli atas tanah sengketa berdasar atas Akta Jual-beli.
  1. Kebatalan Perjanjian karena Menggunakan Surat Kuasa Mutlak
Yurisprudensi MA RI No. 1400 K/Pdt/2001 Tanggal 2 Januari 2003 menerangkan bahwa penggunaan surat kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah tidak diperbolehkan berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14/1982. Oleh karena itu, pengalihan hak atas tanah yang berdasarkan surat kuasa mutlak batal demi hukum.
  1. Kebatalan dalam Hal Jual-beli Harta Bersama
Yurisprudensi MA RI No. Reg. 701 K/PDT/1997 serta Putusan MA RI No. Reg. 209 K/ PDT/2000 menyatakan bahwa suatu perjanjian jual-beli harta bersama suami atauistri dinyatakan batal demi hukum karena tidak mendapat persetujuan bersama (istri dan suami). Hal ini melanggar ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketiadaan persetujuan salah satu pihak tersebut mengakibatkan jual-beli batal demi hukum. Selanjutnya, Putusan MA RI No. 2691 K/Pdt/1996 Tanggal 18 September 1998 menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud harus merupakan perjanjian yang sudah dibuat di depan notaris. Perjanjian lisan baru merupakan perjanjian permulaan yang akan ditindaklanjuti, dan apabila belum dibuat di depan notaris maka belum mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dan karena itu tidak mempunyai akibat hukum. Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui istri tidak sah menurut hukum. Dalam hal harta bersama merupakan tanah, Putusan MA RI No. 3005 K/PDT/1998 Tanggal 14 Januari 2008 menjelaskan bahwa tanah hak milik yang merupakan harta bersama, tidak dapat dijadikan jaminan atas perjanjian utang piutang tanpa persetujuan para pihak, baik pihak istri maupun suami, sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974. Dengan demikian, perjanjian yang melanggar ketentuan tersebut dapat dibatalkan demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian (sebab yang halal). Putusan MA RI No. 82 K/PDT/2004 Tanggal 22 Mei 2007 menjelaskan bahwa perjanjian jual-beli tanah warisan batal demi hukum karena harta waris belum terbagi, masih terdapat harta bersama orang tua yang mana masih hidup salah satu orang tua, dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai alas hak yang sah untuk melakukan perbuatan hukum melakukan perjanjian jual-beli, dilakukan tanpa izin dan persetujuan orang tua dan saudara kandung, belum ada pembagian dan pengalihan hak dan penyerahan hak secara sah dengan pembagian warisan, jualbeli tanah warisan juga melampaui hak.
  1. Kebatalan Perjanjian Jual-beli
Dalam Yurisprudensi MA RI No. 252 K/PDT/2002 Tanggal 11 Juni 2004, perjanjian jual-beli dianggap tidak wajar karena tidak memenuhi syarat sahnya jual-beli dalam BW, yaitu jual-beli dilakukan secara nilai dan kontan. Dapat disimpulkan bahwa perjanjian jual-beli tersebut hanya rekayasa dan cacat hukum, oleh karenanya harus dinyatakan batal demi hukum beserta semua akibat hukum yang timbul akibatnya. Putusan MA RI NO. 2249 K/PDT/2003 Tanggal 11 Mei 2005 menerangkan bahwa perjanjian jual-beli yang bertentangan dengan ketentuan undang-undang dan kepatutan dinyatakan batal demi hukum karena termasuk perbuatan melawan hukum. Selanjutnya, dalam Putusan MA RI No. 09 K/PDT/2005 Tanggal 31 Mei 2006 diterangkan bahwa walaupun perjanjian jual-beli di bawah tangan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata, akan tetapi karena dokumen surat-surat atas objek jual-beli sebagai bukti telah dipenuhinya syarat formil untuk pembuatan akta tentang pengikatan jual adalah tidak benar (dipalsukan) maka perjanjian jual-beli di bawah tangan dan pengikatan jual-belinya adalah sah menjadi cacat hukum, dan oleh karenanya harus dibatalkan.
  1. Kebatalan dalam Hal Keadaan Darurat (Noodtoestand)
Keadaan darurat dapat dijadikan dasar untuk memutus batal demi hukum suatu perjanjian. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 26/1971/PT Perdata, yang kemudian dibatalkan oleh Putusan MA yang telah menjadi Yurisprudensi MA RI No. Reg. 1180 K/SIP/1971, menyatakan bahwa keadaan darurat (noodtoestand) yang diatur dalam Pasal 1144 dan Pasal 1245 BW merupakan suatu keadaan yang dinilai pada saat pelaksanaan perjanjian, sedangkan ongeoorloofdeoorzaak yang diatur dalam Pasal 1335 Jo Pasal 1337 Jo Pasal 1320 BW dinilai pada saat perjanjian diadakan atau dibuat. Sementara itu, unsur paksaan (dwang), yang menurut Pasal 1321 jo Pasal 1323 BW menghilangkan adanya perizinan bebas yang disebutkan oleh Pasal 1320 BW, merupakan salah satu unsur sahnya perjanjian. Apakah yang diartikan paksaan diatur dalam Pasal 1324 BW, dan merupakan suatu persoalan hukum yang menjadi wewenang majelis hakim untuk mempertimbangkannya. Syarat penting dalam Pasal 1324 BW mengenai paksaan adalah ketakutan akan terjadinya suatu kerugian yang besar dan mendadak pada dirinya atau kekayaan orang yang bersangkutan.
  1. Kebatalan Perjanjian mengenai Hak Atas Tanah
Menurut Yurisprudensi MA RI No. Reg. 522 K/PDT/1990, pengalihan hak atas tanah, sebelum berlakunya UUPA Tahun 1960, harus berdasarkan Vervreemdingsverbod, S1875 No. 179, yang menyatakan bahwa tanah milik pribumi tidak dapat dialihkan kepada golongan asing. Jual-beli tanah yang melanggar larangan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan dibatalkannya jual-beli tersebut, berdasarkan Pasal VII konversi UUPA jo Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria No. 1/1960, tanah tetap menjadi hak pemilik asal. Sertifikat tanah yang berasal dari distribusi yang melanggar ketentuan-ketentuan landreform tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Selain itu, Putusan MA RI No. 2046 K/PDT/1995 Tanggal 23 Juni 1998 menambahkan bahwa perjanjian mengenai peralihan hak atas tanah dan bangunan sengketa yang diterbitkan berdasarkan adanya causa yang dilarang haruslah dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat objektif perjanjian sebab yang halal. [1] Elly Erawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, https://putusan3.mahkamahagung.go.id/restatement/detail/11e9b3892cfdcaf68b7b313834383535.html

Kontak

One Pacific Place, 15th Floor.
Jl. Jend. Sudirman No.Kav. 52-53, RT.5/RW.3, Senayan, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12190
+6287885850050
rozy.fahmi@rfalaw.id

Jalan Proklamasi No 46, Mekarjaya, Sukmajaya.
Depok, Jawa Barat

@copyright 2021 - rfalaw.id