Oleh: Rozy Fahmi, SH., MH
Seringkali kebaikan seseorang yang ingin membantu saudara, teman atau tetangga malah disalahgunakan dan pada akhirnya merugikan pihak yang menolong tersebut. Termasuk dalam masalah ini adalah ketika seseorang meminjamkan sertifikat hak atas tanah kepada entah saudara, teman, tetangga dan sebagainya dengan niat awal memang tulus ingin membantu.
Dalam banyak kejadian, Sertifikat Tanah yang dipinjamkan tersebut kemudian dibaliknama ke si peminjam, baik dengan proses resmi (dibuat AJB dihadapan PPAT) atau dengan cara melanggar hukum membuat AJB yang “aspal” alias AJB asli tapi palsu.
Pada proses peralihan resmi, yaitu dengan dibuat AJB dihadapan PPAT, si pemilik tanah awal biasanya meminta si peminjam tanah untuk menandatangani surat-surat atau dokumen yang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa AJB tersebut hanyalah “pura-pura” dan yang sebenarnya hanyalah si pemilik tanah meminjamkan Sertifikat Tanahnya kepada peminjam untuk dijadikan agunan atas kredit di Bank yang diajukan oleh si peminjam tanah tadi.
Namun pada akhirnya, surat-surat atau dokumen yang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa AJB tersebut hanyalah “pura-pura” tadi tidak mempunyai nilai pembuktian ketika dihadirkan di persidangan. Hal ini bisa dilihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 801 K/Pdt/2013 tanggal 28 November 2013 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2489 K/Pdt/2016 tanggal 12 Oktober 2016.
Dalam pertimbangan kedua putusan tersebut, pada pokoknya Majelis Hakim Kasasi menilai dengan adanya Akta Jual Beli dihadapan PPAT dan dilanjutkan dengan adanya proses balik nama dari pemilik tanah awal ke si “peminjam” tanah, telah membuktikan adanya peralihan hak atas tanah dengan dasar jual beli, sehingga segala surat-surat atau dokumen yang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa AJB tersebut hanyalah “pura-pura” tadi tidak mempunyai nilai pembuktian apapun karena AJB telah menjadi bukti sempurna adanya peralihan hak atas tanah.
Mengutip pertimbangan Majelis Hakim Kasasi dalam putusan Nomor 801 K/Pdt/2013 tanggal 28 November 2013, disebutkan:
“Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan berupa surat bertanda P-1 sampai dengan P-9, serta keterangan 3 (tiga) saksi, Penggugat tidak dapat membuktikan dalil gugatannya yaitu bahwa Tergugat meminjam sertifikat hak atas tanah milik Penggugat in casu Sertifikat Hak Milik No. 285 dan kemudian tidak dikembalikan kepada Penggugat;
Bahwa objek sengketa terbukti milik Tergugat/Termohon Kasasi sebab telah terjadi jual beli antara Tergugat/Termohon Kasasi dengan para Penggugat/para Pemohon Kasasi dengan Akta Jual Beli No. 90/2006 yang ditanda tangani oleh para Penggugat/para Pemohon Kasasi dan bahwa Sertifikat Hak Milik No. 285 telah berubah menjadi Sertifikat Hak Milik No. 1027 atas nama Tergugat/Termohon Kasasi;
Bahwa Judex Facti/Pengadilan Tinggi telah benar pertimbangannya bahwa bukti surat di bawah tangan (P-6) yang tidak bersesuaian dengan alat bukti sah lainnya tidak dapat melemahkan bukti surat otentik in casu Akta Jual Beli No. 90/2006, sehingga surat bukti P6 tidak mempunyai kekuatan hukum;” (Bukti P6 dalam perkara tersebut adalah Surat Pernyataan yang pada pokoknya menerangkan Penggugat meminjamkan sertifikat tanah kepada Tergugat).
Begitupun dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2489 K/Pdt/2016 tanggal 12 Oktober 2016, walaupun Penggugat dalam gugatannya mendalilkan adanya kesepakatan pinjam Sertifikat rumah dengan cara balik nama dari pemiliknya yaitu Penggugat kepada Tergugat untuk keperluan peminjaman uang di Bank, sebagaimana tertulis dalam: “SURAT PERJANJIAN PINJAM SERTIFIKAT RUMAH DENGAN CARA BALIK NAMA DARI YANOL FITRI KEPADA IBU SURYA FITRI UNTUK KEPERLUAN PEMINJAMAN UANG DI BANK MEGA, tertanggal 19 Juli 2011”, namun Majelis Hakim Kasasi dalam pertimbangannya hanya mengakui adanya Akta Jual Beli sebagai dasar peralihan hak atas tanah, sehingga gugatan Penggugat ditolak. Bunyi pertimbangannya sebagai berikut:
“Bahwa pertimbangan hukum putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) yang menguatkan putusan Judex facti (Pengadilan Negeri) dengan menolak gugatan Penggugat dapat dibenarkan, karena berdasarkan fakta-fakta dalam perkara a quo Judex Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup dan tidak bertentangan dengan hukum, dimana ternyata balik nama obyek sengketa Sertifikat hak Milik No. 1178/Lembah Sari dari atas nama Penggugat kepada atas nama Tergugat berdasarkan Akta Jual Beli (AJB) No. 241/2011 tanggal 19 Juli 2011 adalah sah, sehingga Akta Perjanjian Kredit antara Tergugat dengan Turut Tergugat III dengan jaminan obyek sengketa juga sah dan mengikat kedua belah pihak (Tergugat dan Turut Tergugat III) yang telah diikat dengan Hak Tanggungan, sehingga Turut Tergugat III dalam perkara a quo dapat dinilai sebagai Pemegang Hak Tanggungan yang beriktikad baik dan harus dilindungi;”
Adapun contoh kasus proses peralihan hak atas tanah dengan cara membuat AJB asli tapi palsu, dapat merujuk pada putusan Putusan MA No 1296 K/Pdt/2013 tanggal 24 Juli 2012. Dalam kasus tersebut, si pemilik tanah awal kedatangan Tergugat I dan Tergugat II yang diantar oleh Sdr. Yuyun (kakak Tergugat II/ kakak ipar Tergugat I) yang datang ke rumah Penggugat dengan maksud ingin meminjam sertifikat milik Penggugat tersebut masa paling lama 1 (satu) bulan dengan janji akan memberikan uang imbalan sebesar Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah) dengan alasan karena 1 bulan kemudian tanah milik Tergugat I akan dibayar oleh pembelinya. Oleh karena Tergugat I, Tergugat II dan Sdr. Yuyun tersebut masih tetangga dengan Penggugat, Penggugat tidak mencurigai dan dengan perkataan tersebut Penggugat menyerahkan sertifikat tersebut di atas kepada Tergugat I dengan pesan : ”silahkan dipinjam asal jangan disalahgunakan” dan Penggugat tidak akan pernah bersedia menandatangani segala bentuk surat perjanjian dari pinjaman sertifikat tersebut.
Namun dikemudian hari, si pemilik tanah/Penggugat mendapatkan 3 (tiga) kali tegoran keterlambatan pembayaran cicilan kepada PT. Bank Mega Tbk (Tergugat III) dari total hutang/pinjaman sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), namun Penggugat tidak pernah merasa meminjam dan menjaminkan Sertifikat Hak Milik Nomor 118/Sawangan tersebut kepada PT. Bank Mega Tbk. (Tergugat III).
Adanya tegoran dari PT. Bank Mega Tbk. (Tergugat III) tersebut membuat Penggugat menyadari bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah menyalahgunakan sertifikat tersebut dengan dijadikan jaminan untuk meminjam uang kepada Tergugat III dengan cara memalsukan identitas Penggugat dan istri Penggugat yang bernama Sukarti yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II sebagaimana bukti fotocopy KTP yang dapat dilihat pada foto Penggugat dan foto istri Penggugat yang tidak sesuai dengan foto pada KTP yang dimiliki oleh Penggugat dan istri Penggugat pada saat itu beserta data lainnya.
Dalam perjalanannya, pemilik tanah mengajukan Gugatan kepada Tergugat melalui Pengadilan Negeri Depok dengan gugatan perbuatan melawan hukum dengan dasar adanya pemalsuan identitas. Pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Depok, Gugatan Penggugat dikabulkan dan kemudian putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung.
Namun pada tingkat Kasasi, Tergugat III dalam hal ini adalah Bank Mega sebagai pemegang Hak Tanggungan mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Depok dan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan kemudian permohonan kasasi dikabulkan oleh Majelis Hakim Kasasi.
Tidak hanya membatalkan putusan judex factie tingkat pertama dan banding, Majelis Hakim Kasasi bahkan “menyalahkan” Penggugat yang begitu sembrono atau teledor meminjamkan Sertifikat Tanah kepada tetangganya. Dalam pertimbangannya disebutkan “Bahwa dipinjamkannya SHM milik Penggugat kepada Tergugat I dan II dengan hanya mendapat imbalan Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah), adalah sesuatu yang tidak logis, sehingga merupakan suatu keteledoran yang fatal bagi Penggugat, karena sudah harus difikirkan bahwa Sertifikat Hak Milik dapat dijual/diagunkan kepada pihak lain dengan berbagai cara termasuk pemalsuan dalam perkara ini;”.
Dari tiga contoh kasus diatas, semua cerita berawal dari niat baik pemilik tanah meminjamkan tanah kepada teman atau tetangga. Secara formil, “pinjam-meminjam” tanah tersebut dikukuhkan dalam suatu Akta Jual Beli tanah dan dilanjutkan dengan proses pendaftaran tanah berupa balik nama di sertifikat tanah. Secara hukum, berdasar pada asas terang dan tunai maka telah beralihlah hak atas tanah dari pemilik semula kepada “pemilik” berikutnya.
Pemilik tanah semula yang kemudian merasa dirugikan akibat tidak dikembalikannya tanah sebagaimana janji si peminjam, kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, hasilnya? Karena tanah secara formil telah beralih kepemilikan didasarkan adanya AJB dihadapan PPAT dan ditindaklanjuti dengan perubahan nama di sertifikat tanah, maka Majelis Hakim berpegangan pada bukti otentik telah adanya peralihan hak atas tanah, yaitu adanya AJB yang dibuat dihadapan Pejabat yang berwenang.