Wabah COVID-19 sebagai Alasan Force Majeure dalam Perjanjian/Kontrak?
Oleh: Rozy Fahmi, SH., MH.,
Founder & Advokat AMAR Law Firm & Public Interest Law Office
Pengertian Force Majeure
Dalam Kamus Istilah Hukum karangan Fockema Andreae
[1],
Force Majeure dan
Overmacht secara umum mempunyai arti yang sama yaitu keadaan terpaksa,
toeval (kejadian yang tiba-tiba), yang menghalangi penunaian perikatan, membebaskan orang dari kewajiban mengganti biaya, kerugian dan bunga.
Pada praktik pembuatan perjanjian, istilah
Force Majeure merupakan salah satu klausa yang lazimnya berada dalam suatu perjanjian, walaupun dapat juga menggunakan istilah lain, seperti “Keadaan Memaksa”, “Keadaan Kahar”, “
Overmacht ”. Agar terdapat konsistensi istilah, maka dalam tulisan ini akan digunakan istilah
Force Majeure.
Menurut pendapat ahli dan praktisi hukum,
Force Majeure dapat diartikan antara lain:
- Subekti: Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi. Dengan perkataan lain, hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian.[2] Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (Overmacht ), selain keadaan itu “di luar kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur.[3]
- Purwahid Patrik mengartikan Overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.[4]
- Ricardo Simanjuntak berpendapat Force Majeure merupakan suatu halangan di mana salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk menghindari halangan itu walaupun sudah melakukan upaya terbaik. Unsur lain yang mendukung terjadinya Force Majeure, pihak tersebut tidak pernah bisa memprediksi kapan terjadinya halangan, serta ia tidak memiliki contributory factor atas terjadinya halangan itu.[5]
Adapun ketentuan
Force Majeure dalam hukum perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata. Pasal 1244 KUHPerdata: “
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya”. Pasal 1245 KUHPerdata: “
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.”
Berdasarkan pasal-pasal KUH Perdata di atas, unsur-unsur
Force Majeure meliputi:
- Peristiwa yang tidak terduga;
- Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
- Tidak ada itikad buruk dari debitur;
- Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;
- Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi;
- Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan;
- Keadaan di luar kesalahan debitur;
- Debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang);
- Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur maupun pihak lain);
- Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.
Merujuk pada pendapat ahli dan uraian unsur-unsur Pasal 1244-1245 KUHPerdata, dapat ditarik benang merah unsur utama alasan
Force Majeur dapat digunakan, yaitu:
- Adanya suatu peristiwa di luar kendali salah satu pihak yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga;
- Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur;
- Peristiwa tersebut tidak dapat dihindari oleh siapapun, termasuk debitur;
- Tidak ada itikad buruk/kelalaian dari debitur;
Jenis/Kategori Force Majeure
Force Majeure menurut para sarjana hukum klasik dimaknai sebagai suatu keadaan yang secara mutlak tidak dapat dihindari oleh debitur untuk melakukan prestasi terhadap suatu kewajiban. Pikiran mereka tertuju pada bencana alam atau kecelakaan-kecelakaan yang berada di luar kemampuan manusia untuk menghidarinya, sehingga menyebabkan debitor tidak mungkin untuk menepati janjinya. Contohnya objek yang diperjanjikan telah musnah. Pandangan ini mulai surut dengan adanya argumentasi bahwa
Overmacht dapat bersifat relatif dengan ketentuan bahwa kewajiban yang dibebankan kepada debitur dapat dilaksanakan melalui cara-cara lain.
[6]
Sifat mutlak dan relatif
Overmacht menunjukkan pembedaan antara mutlak yang dikaitkan dengan pembatalan atau batal terhadap suatu kewajiban debitur, dengan relatif yang diartikan dengan gugur. Pembatalan atau batal dikaitkan dengan musnahnya objek perjanjian, sedangkan relatif menunjukkan suatu prestasi dapat dilakukan oleh debitur tetapi tidak memiliki nilai dalam pandangan kreditur.
[7] Sifat mutlak dan tidaknya (relatif)
Overmacht coba dirinci oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut:
- Keadaaan yang menunjukkan tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan (memusnahkan) dan menghancurkan benda objek perjanjian. Keadaan ini menunjukkan sifat mutlak dari Force Majeure.
- Keadaaan yang menunjukkan tidak dapat dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang dapat menghalangi perbuatan debitur untuk memenuhi prestasi. Keadaan ini dapat bersifat mutlak atau relatif.
- Keadaan yang menunjukkan ketidakpastian karena tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada saat mengadakan perjanjian baik oleh debitur maupun kreditur. Keadaan ini menunjukkan bahwa kesalahan tidak berada pada kedua pihak khususnya debitur.[8]
Dilihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang menyebabkan terjadinya
Force Majeure, maka
Force Majeure dapat dibeda-bedakan ke dalam:
- Force Majeure Permanen
Suatu Force Majeure dikatakan bersifat permanen jika sama sekali sampai kapan pun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi. Misalnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak tersebut musnah diluar kesalahan debitur.
- Force Majeure Temporer
Sebaliknya, suatu Force Majeure dikatakan bersifat temporer bilamana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, misalnya karena terjadi peristiwa tertentu, di mana setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.
Dilihat dari segi yang terkena sasaran
Force Majeure, dibedakan menjadi:
- Force Majeure objektif, artinya prestasi sama sekali secara objektif tidak dapat dipenuhi (physical impossibility). Misalnya, dalam perjanjian mengenai objek berupa benda (mobil, perabot dll), penjual tidak dapat menyerahkan benda tersebut karena kebakaran yang memusnahkan benda tersebut.
- Force Majeure subjektif, artinya subjek perjanjian, dalam hal ini debitur terhalang atau tidak dapat melaksanakan prestasinya karena ada Force Majeure.
Akibat Hukum Force Majeure
Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai
Force Majeure membawa konsekuensi bagi para pihak dalam suatu perikatan, di mana pihak yang tidak dapat memenuhi prestasi tidak dinyatakan wanprestasi. Dengan tidak dapat dinyatakan adanya wanprestasi, maka dapat berakibat hukum antara lain:
- Kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi;
- Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai;
- Debitur tidak wajib membayar ganti rugi;
- Risiko tidak beralih kepada debitur;
- Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik;
- Perikatan dianggap gugur.[9]
Namun, akibat hukum tersebut di atas tidak selalu berlaku pada setiap peristiwa yang dianggap
Force Majeure. Pada
Force Majeure yang bersifat mutlak dan jangka peristiwa yang permanen, yang mengakibatkan pelaksanaan prestasi tidak mungkin lagi dilakukan atau dipenuhi, maka akibat hukum yang tersebut di atas menjadi berlaku, sedangkan pada
Force Majeure yang relatif (tidak tetap) dan jangka waktu temporer, maka pelaksanaan/pemenuhan prestasi dapat ditangguhkan untuk sementara, namun debitur tidak diwajibkan membayar ganti rugi dan perikatan belum tentu dianggap gugur.
COVID-19 sebagai Alasan Force Majeure untuk Tidak Menjalankan Perjanjian?
Untuk menjawab apakah Pandemi Covid-19 ini dapat menjadi alasan
Force Majeure, maka harus dilihat apakah peristiwa Covid-19 ini memenuhi unsur
Force Majeure sebagaimana telah dijelaskan di atas sebelumnya.
Menurut pendapat Penulis, secara umum peristiwa Covid-19 ini memenuhi unsur
Force Majeure karena
Pertama, tidak seorang pun yang pernah tahu kapan Covid-19 ini akan terjadi (tidak terprediksi).
Kedua, Covid-19 ini peristiwa di luar kendali para pihak di dalam Perjanjian (khususnya Debitur) sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Ketiga, Covid-19 ini menimbulkan halangan di mana orang tidak bisa mengesampingkannya.
Namun, Covid-19 termasuk pada jenis
Force Majeure yang relatif (tidak tetap) dan jangka waktu temporer, maka pelaksanaan/pemenuhan perjanjian/kontrak yang dibuat sebelum ditetapkannya menyebarnya Covid-19 dapat ditangguhkan untuk sementara, namun debitur tidak diwajibkan membayar ganti rugi dan perikatan belum tentu dianggap gugur.
Untuk menjadikan Covid-19 sebagai alasan
Force Majeure dalam perjanjian, maka harus ditelaah apakah objek dan subyek perjanjian terpengaruh secara langsung dengan Covid-19. Hal ini tergantung pada beberapa faktor di antaranya jenis perjanjian dan karakter bisnis pelaku. Oleh karena itu, penggunaan alasan
Force Majeure dari satu kasus ke kasus yang lain mungkin saja berbeda.
Secara prinsip, pembuktian adanya
Force Majeure dibebankan kepada debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, karena dengan adanya
Force Majeure tadi si debitur tidak dapat melaksanakan prestasi yang diwajibkan dalam kontrak. Oleh karenanya ada beberapa pertimbangan dalam mengajukan alasan
Force Majeure, antaranya:
- Pengajuan alasan Force Majeure dilandaskan pada itikad baik untuk mencari solusi penyelesaian perjanjian dengan saling menguntungkan, atau setidaknya tidak menimbulkan kerugian hanya pada satu pihak;
- Alasan Force Majeuredidasarkan pada rujukan hukum yang tepat. Pihak yang mengajukan Force Majeure harus mempunyai dasar hukum yang tepat apakah bencana, pandemi atau tindakan pemerintah memberlakukan aturan tertentu termasuk ruang lingkup Force Majeure yang diatur dalam perjanjian. Sekiranya peristiwa-peristiwa seperti bencana, pandemi atau tindakan pemerintah memberlakukan aturan termasuk di dalam klasula perjanjian sebagai alasan Force Majeure, maka pihak yang seharusnya memenuhi prestasi perjanjian membuktikan peristiwa-peristiwa Force Majeure tersebut secara nyata berdampak pada kegiatan/aktivitas bisnisnya;
- Alasan Force Majeure diajukan dengan maksud untuk merubah perjanjian dan bukan mengakhiri perjanjian. Covid-19 ini termasuk pada jenis Force Majeure yang relatif (tidak tetap) dan jangka waktu temporer, sehingga tidak serta-merta menggugurkan kewajiban pihak tersebut. Ketentuan Pasal 1245 KUH Perdata hanya berkaitan dengan pembebasan atas kewajiban untuk mengganti rugi, membayar denda, atau bunga.
Referensi:
[1] Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum: Diterjemahkan Saleh Adiwinata, SH., dkk, Binacipta, 1983, hlm. 142 dan 379
[2] Prof. R. Subekti. Hukum Perjanjian, Jakarta, PT Intermasa, 1992, hlm.55.
[3] Prof. R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT Intermasa, 2001, cet. ke-29, hlm.150.
[4] Prof. Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Bandung, Mandar Maju, 1994, hlm.18.
[5]https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e70df2e855cf/masalah-hukum-penundaan-kontrak-akibat-penyebaran-covid-19/
[6] Prof. R. Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 56. Lihat Achmad Ihsan, Hukum Perdata I B, Pembimbing Masa, Djakarta, 1969, hlm. 41.
[7] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 206. Persamaan dari sifat batal dan gugur force majeure adalah bahwa suatu perjanjian keduanya tidak mencapai tujuan.
[8] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 28.
[9] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, LaksBang Mediatama Bekerjasama dengan Kantor Advokat Hufron & Hans Simaela, 2008, hlm243 – 244.