Perubahan surat gugatan perdata yang isinya tidak melampaui batas-batas materi pokok gugatan dan tidak akan merugikan tergugat dalam pembelaan atas gugatan penggugat tersebut, maka hakim boleh mengabulkan perubahan tersebut;
Yurisprudensi mengizinkan perubahan atau tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak pembelaan diri) atau pembuktian;
Perubahan gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak;
Suatu perubahan tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata asal tidak merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan subsidair
Terkait perubahan gugatan, Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan hal. 94 menyebutkan mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan:Tenggang batas jangka waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv yang menyatakan, penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Berarti, selama persidangan berlangsung, penggugat berhak melakukan dan mengajukan perubahan gugatan.
Penggarisan batas jangka waktu pengajuan hanya boleh dilakukan pada hari sidang pertama, ditegaskan dalam buku pedoman yang diterbitkan Mahkamah Agung (Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Pengadilan, hal. 123). Selain harus diajukan pada hari sidang pertama, disyaratkan para pihak harus hadir.
perubahan gugatan bermaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan gugatan. Oleh karena itu, dianggap tidak realistis membatasinya hanya pada sidang hari pertama. Terkadang perbaikan atau perubahan itu, baru disadari setelah tergugat menyampaikan jawaban. Oleh karena itu, pedoman batas waktu yang digariskan MA itu, dianggap terlampau restriktif. Sangat menghambat hal penggugat melakukan perubahan gugatan.
Barangkali batas jangka waktu pengajuan perubahan yang dianggap layak dan memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap replik-duplik berlangsung. Praktik peradilan cenderung menerapkannya, misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 546 K/Sip/1970.