Tentang Somasi dalam Hukum Perdata
Disarikan oleh
Rozy Fahmi, SH., MH.,
Founder & Advokat AMAR Law Firm & Public Interest Law Office
Somasi merupakan penyerapan dari bahasa Belanda “Sommatie” yang diartikan “teguran untuk membayar”, “tuntutan”[1]. Istilah Somasi atau Sommatie tidak terdapat didalam Kitab UU Hukum Perdata (KUHPer) namun ada istilah lain yang biasa dikaitkan dengan somasi, yaitu “in gebreke gesteld“ (atau ingebrekestelling) yang artinya “penentuan menurut hokum bahwa seorang berutang tidak memenuhi kewajibannya pada waktu yang dijanjikan (in gebreke)[2], atau secara sederhana dapat diartikan “pernyataan lalai“ (atau “dinyatakan dalam keadaan lalai“), sebagai yang diatur dalam Pasal 1238 KUHPer.
Berikut bunyi Pasal 1238 KUHPer:
“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“.
Lalu apa itu Keadaan Lalai? Keadaan lalai berkaitan dengan jatuh temponya kewajiban perikatan debitur, dengan kata lain berkaitan dengan matangnya tagihan yang bersangkutan. Kalau belum tiba saatnya kewajiban perikatan debitur dilaksanakan, maka debitur tidak bisa dinyatakan dalam keadaan lalai (ditafsirkan dari Pasal 1270 KUHPer)
Pasal 1238 mengatur bahwa debitur berada dalam keadaan lalai dengan adanya “perintah” yang mengandung suatu peringatan. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (-tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian –sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan– bisa kita simpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya.
Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“. Somasi yang tidak dipenuhi –tanpa alasan yang sah– membawa debitur berada dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku. Jadi, somasi merupakan peringatan atau teguran agar debitur berprestasi pada suatu saat yang ditentukan dalam surat somasi. Dengan demikian, somasi merupakan sarana untuk menetapkan debitur berada dalam keadaan lalai (kalau somasi tidak dipenuhi). [3].
Bagaimana bentuk pernyataan lalai tersebut? Terdapat 2 (dua) bentuk pernyataan lalai yang diatur dalam Pasal 1238 KUHPer, yaitu “perintah dan “akta sejenis”. Yang dimaksud dengan “perintah“ adalah exploit juru sita (A.Pitlo – M.F.H.J. Bolweg, 1979: 54; L.E.H. Rutten, hal. 177). Exploit juru sita sebenarnya merupakan sarana menyampaikan pesan (perintah) secara lisan; salinan atas surat – yang telah dibuat sebelumnya -- yang disampaikan oleh juru sita yang berisi pesan itu disebut exploit, dan karena disampaikan oleh juru sita maka disebut exploit juru sita.
Akta sejenisnya (soortgelijke akte), dapat diartikan kata-kata akta sejenis ini ialah akta otentik yang sejenis dengan exploit juru sita. Namun sekarang doktrin maupun yurisprudensi sepakat, bahwa somasi itu harus berbentuk tertulis dan tidak perlu dalam bentuk otentik[4]. Mahkamh Agung bahkan pernah mengemukakan pendapatnya dengan tegas bahwa: “Permintaan untuk memenuhi (het vragen van nakoming) yang diperjanjikan tidak diharuskan dengan tegoran juru sita[5]. Jadi sekarang teguran dengan surat biasa sudah cukup untuk diterima sebagai suatu somasi.
Pernyataan lalai yang dituangkan dalam Somasi merupakan syarat prosedural untuk menentukan saat terjadinya wanprestasi, hal ini disimpulkan dalam Pasal 1243 KUHPer yang berbunyi;
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.”
Dari Pasal 1243 tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa debitur dikatakan wanprestasi, kalau setelah debitur disomasi dengan benar, debitur –tanpa alasan yang dibenarkan- tetap tidak berprestasi sebagaimana mestinya.
Dalam praktik, Somasi ini dapat dikatakan sebagai kewajiban prosedural sebelum mengajukan gugatan perdata. Terdapat beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung yang pada pokoknya mensyaratkan dilakukannya somasi terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan, antara lain:
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan: “Apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.
Yurisprudensi Mahkamah Agung Rl Nomor: 117 K/Sip/1956 tanggal 12 Juni 1957, "Bahwa karena tergugat asli tidak ditegur lebih dulu maka gugat tidak dapat diterima"
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 852/K/Sip/1972 tanggal 12 September 1973, yang pada intinya memiliki kaidah hukum sebagai berikut:“Bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan wanprestasi terlebih dahulu harus dilakukan penagihan resmi oleh juru sita (somasi). Oleh karena somasi dalam perkara ini belum dilakukan, maka pengadilan belum dapat menghukum para tergugat/pembanding telah melakukan wanprestasi, oleh sebab itu gugatan penggugat/terbanding harus dinyatakan tidak dapat diterima.”
Demikian semoga bermanfaat.
Tanya jawab & konsultasi dapat melalui WA 087885850050
Referensi:
[1] Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum: Diterjemahkan Saleh Adiwinata, SH., dkk, Binacipta, 1983, hlm. 523
[2] Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum, hlm. 213
[3]https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4cbfb836aa5d0/beberapa-segi-hukum-tentang-somasi-bagian-i-brioleh-j-satrio-[4] A. Pitlo – M.F.H.J. Bolweg, 1979 : 55; L.E.H. Rutten, 1973 : 177; MA 1 Juli 1959 no. 186 K/Sip/1959 dimuat dalam RYMARI, 1993, hal 242
[5] Putusan Mahkamah Agung No. 117 K/Sip/1956 tanggal 12 Juni 1957, dimuat dalam Rangkuman Yurisprudensi MARI 1993, hlm. 134 ).
Kontak
Jakarta
One Pacific Place, 15th Floor. Jl. Jend. Sudirman No.Kav. 52-53, RT.5/RW.3, Senayan, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan. Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12190
+6287885850050
rozy.fahmi@rfalaw.id
Depok
Jalan Proklamasi No 46, Mekarjaya, Sukmajaya. Depok, Jawa Barat