Artikel

Alat BuktiDokumen/Surat berupa Fotocopy dalam Gugatan Perdata

Kekuatan Pembuktian Dokumen/Surat berupa Fotocopy dalam Gugatan Perdata (seri Ringkasan Hukum Acara Perdata) Disarikan oleh: Rozy Fahmi, SH., MH Founder & Partner AMAR Law Firm Pendahuluan Pada dasarnya, Pasal 1888 KUHPer sudah memberikan pengaturan mengenai salinan/fotocopy dari sebuah surat/dokumen, yaitu: “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya” Dari ketentuan diatas, maka apabila suatu Dokumen/Surat yang hanya berupa Fotocopy diajukan sebagai alat bukti di persidangan dianggap tidak mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam praktik, Mahkamah Agung juga telah memberikan penegasan atas bukti berupa fotocopy dari surat/dokumen, dengan kaidah hukum sebagai berikut:
  •  Putusan Mahkamah Agung No: 3609 K/Pdt/1985 yang berbunyi “Surat bukti fotokopi yang tidak pernah diajukan atau tidak pernah ada surat aslinya, harus dikesampingkan sebagai surat bukti”;
  • Putusannya Mahkamah Agung No: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998, dengan kaidah hukumnya “Fotocopy surat tanpa disertai surat/dokumen aslinya dan tanpa dikuatkan oleh Keterangan saksi dan alat bukti lainnya, tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam Persidangan Pengadilan (Perdata)”;
  • Putusan Mahkamah Agung Nomor 7011  K/Sip/1974 14 April 1976,  dengan kaidah hukumnya “pengakuan  keabsahan  identiknya  fotokopi  dengan aslinya   dapat   diakui   apabila   pihak   yang   mengajukan   alat   bukti   tersebut   mampu menunjukkan aslinya di muka persidangan, apabila tidak dapat menunjukkan aslinya maka fotokopi  tidak  bernilai  sebagai salinan  pertama  atau  salinan  keberapa  sehingga  tidak  sah sebagai  alat  bukti”.
Agar Dokumen/Surat Fotocopy Mempunyai Kekuatan Pembuktian Sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan-putusan tersebut diatas, dihubungkan dengan Pasal 1888 KUHPerdata, maka fotocopy dari sebuah surat/dokumen yang tidak pernah dapat ditunjukkan aslinya, tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti surat menurut Hukum Acara Perdata. Namun, dalam teknik pembuktian di Pengadilan, dapat saja dokumen/surat berupa Fotocopy tersebut dipertimbangkan menjadi alat bukti dengan cara:
  1. Dalam hal tidak dapat ditunjukkannya dokumen asli dari fotocopy, saksi sebagai salah satu alat bukti dapat berfungsi untuk memberi kesaksian kepada hakim, bahwa benar pernah ada suatu kesepakatan yang dibuat secara bawah tangan oleh para pihak yang namanya tercantum dalam fotocopy surat/dokumen bawah tangan tersebut, untuk memperjanjikan suatu hal tertentu (Vide Pasal 1320 Jo. 1338 KUH Perdata jo. Putusannya Mahkamah Agung No.: 112 K/Pdt/Pdt/1996, tanggal 17 September 1998). Adapun Saksi yang harus dihadirkan minimal dua orang saksi (asas unus testis nullus testis dalam Pasal 1905 KUHPer);
  2. Pengakuan dan tidak disangkal keberadaan fotocopy dari perjanjian bawah tangan, tentunya hal ini dapat dikualifisir sebagai pengakuan di muka hakim, yang merupakan bukti yang sempurna (Pasal 1866, 1923 KUHper jo Pasal 176 HIR )
Demikian tulisan ini disarikan dari berbagai sumber, semoga bermanfaat. Konsultasi hukum: 0878 8585 0050

Kontak

One Pacific Place, 15th Floor.
Jl. Jend. Sudirman No.Kav. 52-53, RT.5/RW.3, Senayan, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12190
+6287885850050
rozy.fahmi@rfalaw.id

Jalan Proklamasi No 46, Mekarjaya, Sukmajaya.
Depok, Jawa Barat

@copyright 2021 - rfalaw.id