Artikel

Hukum Perceraian di Indonesia

Hukum Perceraian di Indonesia
Menurut UU No. 1 Tahun 1974, Perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam perjalanan berumah tangga, merupakan harapan semua pasangan suami istri agar ikatan lahir batin itu berlangsung kekal seumur hidup. Akan tetapi, antara harapan dan kenyataan sering tidak seiring sejalan. Berbagai masalah yang timbul dalam mengarungi bahtera rumah tangga membuat ikatan lahir batin tersebut menjadi renggang dan pada akhirnya putus.
Menjalani bahtera rumah tangga yang tidak ada lagi ikatan lahir batin antara suami dan istri hanya akan menyakiti pasangan tersebut dan pada akhinya perceraian menjadi jalan keluar. Lalu seperti apa hukum di Indonesia mengatur perceraian?
Berdasarkan hukum positif di Indonesia, perceraian hanya dapat dilakukan melalui proses peradilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, Pasal 14 PP No. 9 tahun 1975, Pasal 65 UU No. 7 tahun 1989 dan Pasal 115 KHI. Berdasarkan UU tersebut, dimungkinkan salah satu pihak, yaitu suami atau istri melakukan gugatan perceraian. Ada sedikit perbedaan antara antara penganut agama Islam dan di luar Islam dalam soal perceraian ini, antara lain mengenai pengadian mana yang berwenang untuk mendaftarkan gugatan perceraian tersebut. Bagi pasangan suami-istri Muslim dapat bercerai dengan didahului oleh permohonan talak oleh suami atau gugatan cerai oleh istri yang didaftarkan pada pengadilan agama. Untuk pasangan non-Muslim dapat bercerai dengan mengajukan gugatan cerai (baik suami maupun istri) melalui pengadilan negeri.
Dalam mengajukan gugatan cerai tersebut, harus disertai dengan alasan-alasan yang diterima oleh hukum. Alasan-alasan tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga;
Khusus yang beragama Islam, ada tambahan dua alasan perceraian selain alasan-alasan di atas, sebagaimana diatur dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam yaitu:
1. Suami melanggar taklik-talak;
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Demikian, semoga bermanfaat.
Konsultasi atau tanya jawab mengenai permasalahan perceraian yang sedang dihadapi dapat disampaikan melalui WA/SMS ke 0878 8585 0050

Kontak

One Pacific Place, 15th Floor.
Jl. Jend. Sudirman No.Kav. 52-53, RT.5/RW.3, Senayan, Kec. Kby. Baru, Kota Jakarta Selatan.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12190
+6287885850050
rozy.fahmi@rfalaw.id

Jalan Proklamasi No 46, Mekarjaya, Sukmajaya.
Depok, Jawa Barat

@copyright 2021 - rfalaw.id