Disarikan oleh: Rozy Fahmi
Keyword: harta bersama, pembagian harta bersama, perjanjian perkawinan
Menurut Pasal 37 UU Perkawinan harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Bagi yang beragama islam, berlaku ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai pembagian harta bersama, yaitu: “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.” (baca juga: Pembagian Harta Gono Gini (Harta Bersama))
Dari ketentuan hukum tersebut diatas, baik dalam perceraian menurut hukum agama Islam, dipahami bahwa pembagian harta bersama dilakukan dengan sama rata antara keduanya dengan ketentuan tidak ada perjanjian perkawinan yang berisikan pemisahan harta. Jika terdapat perjanjian perkawinan maka pembagian harta bersama tadi diberlakukan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati. (baca juga: Harta Bersama (Gono-Gini) Setelah Perceraian)
Lalu apakah pembagian harta bersama setelah putusnya perkawinan pasti akan selalu dibagi rata porsinya oleh Hakim kepada mantan suami istri tersebut? Pada praktiknya, hakim tak selalu terpaku pada aturan normatif tersebut, sebagai contoh putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No. 126/Pdt.G/2013/PTA.JK, hakim memilih untuk tidak membagi harta bersama rata sama besar antara mantan suami dan mantan istri. Melainkan satu pertiga bagi mantan suami dan dua pertiga bagi mantan istri. Pertimbangan hakim memutuskan pembagian seperti itu di antaranya, karena harta bersama itu merupakan hasil jerih payah istri. Selain itu juga karena istri telah membantu melunasi pembayaran utang suami yang dibawa sebelum menikah. Serta ikut menafkahi anak-anak dari istri pertama suaminya. Sedangkan suami mendapat bagian sebagaimana di atas dengan pertimbangan masih mengurusi anak.
Dalam perkara harta bersama Nomor 618/Pdt. g/2012/PA. Bkt, seorang suami menggugat mantan istrinya terhadap pembagian harta bersama untuk dibagi setengah sama banyak sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Adapun isteri atau (tergugat) menolak harta bersama untuk dibagi sama banyak. Tergugat berpandangan bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan adalah hasil jerih payahnya dimana tergugatlah yang lebih dominan dalam mencari nafkah. Dalam putusannya Majelis Hakim Pengadilan Agama Bukit Tinggi mengesampingkan aturan KHI dan memutuskan bagian suami 1/3 dan Isteri 2/3. Adapun pertimbangan hukum Hakim memberikan porsi yang lebih banyak kepada Isteri dalam Pembagian harta karena isteri selain mengurus rumah tangga juga mencari nafkah yang seharusnya menjadi kewajiban suami (penggugat) sebagai kepala Rumah Tangga. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 80 ayat (4) huruf a Kompilasi Hukum Islam menyatakan “bahwa kewajiban seorang suami terhadap istrinya adalah: Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri. Majelis Hakim menimbang bahwa adanya beban ganda (double burden) terhadap isteri sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah maka tidak adil apabila harta bersama dibagi setengah sama banyak antara suami dan isteri.[1]
Hakim tentu akan mempertimbangkan berbagai keadaan yang ada berkaitan dengan pembagian harta bersama tersebut, seperti awal munculnya harta bersama tersebut, apakah terdapat pencampuran dengan harta bawaan, siapa yang lebih banyak berkontribusi, siapa yang masih mempunyai kewajiban menafkahi anak setelah berakhirnya perkawinan, hal tersebut dipertimbangkan demi tercapainya keadilan dan kepatutan antara kedua belah pihak.
Demikian, semoga bermanfaat.
Konsultasi atau tanya jawab mengenai permasalahan hukum pembagian Harta Bersama yang sedang dihadapi dapat disampaikan melalui WA/SMS ke 087885850050
[1] M. Beni Kurniawan, Kajian Putusan Putusan Pengadilan Agama Bukit Tinggi Nomor 618/Pdt. g/2012/PA. Bkt. https://pa-malangkota.go.id/article/Pembagian-Harta-Bersama-Ditinjau-Dari-Besaran-Kontribusi-Suami-Isteri-Dalam-Perkawinan