Disarikan oleh: Rozy Fahmi, SH., MH
Perceraian yang diakui Negara harus dilakukan di Pengadilan Agama bagi suami istri muslim dan di Pengadilan Negeri bagi suami istri non muslim atau suami istri muslim tetapi dahulu mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil.
Proses beracara di Pengadilan Agama mengikuti hukum acara perdata di Pengadilan Negeri, hal ini berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah diubah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang- undang ini. Oleh karenanya alat bukti yang diperlukan dalam proses perceraian di Pengadilan Agama sama dengan alat bukti yang diatur dalam hukum acara di Pengadilan Umum.
Berdasarkan Pasal 164 HIR dan 284 Rbg serta Pasal 1886 KUHPerdata ada lima alat bukti dalam perkara perdata di Indonesia, yaitu alat bukti Surat, Saksi, Persangkaaan, Pengakuan, Sumpah. Penjelasan lebih lanjut mengenai alat bukti tersebut adalah sebagai berikut:
1. Alat Bukti Surat
Dalam peradilan perkara perdata, Alat bukti surat merupakan alat bukti yang penting dan paling utama. Alat bukti surat melingkupi surat otentik dan surat dibawah tangan (tidak otentik). Surat otentik meliputi surat- surat Notaris (akta notaris), dan atau surat- surat yang dikeluarkan oleh pejabat- pejabat yang berwenang mengeluarkan surat tersebut. Surat dibawah tangan adalah surat- surat biasa. Dalam perkara perceraian, maka bukti-bukti surat yang relevan untuk diajukan adalah:
2. Alat Bukti Saksi
Saksi adalah seseorang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian (atau peristiwa hukum) yang diperkarakan. Dalam peradilan perdata dikenal istilah Unus testis nullus testis (Pasal 1905 KUHPer, Pasal 169 HIR), seorang saksi saja tanpa alat bukti lain tidak dapat dipercaya, sehingga minimal saksi yang diajukan minimal 2 orang saksi. Berdasarkan Pasal 145 HIR, seseorang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan para pihak dalam perkara perdata tidak dapat diajukan/ didengar keterangannya di persidangan, namun dalam proses perkara perdata perceraian terdapat hukum khusus yang membolehkan pihak keluarga didengar keterangannya, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan:
“Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka saksi dari pihak keluarga hanya dapat diajukan untuk perkara perceraian dengan alasan adanya perselisihan dan pertengkaran antara suami istri. Namun, mengutip pendapat Romi Hardhika, S.H. (Hakim Pengadilan Negeri Tanah Grogot)[1]:
“Pasal 145 ayat (2) HIR/Pasal 172 ayat (2) RBg menyatakan bahwa dalam hal mengenai keadaan menurut hukum perdata, keluarga sedarah dan semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi. Yang dimaksud tentang keadaan menurut hukum perdata antara lain adalah hubungan perselisihan tentang perkawinan, keturunan, dan perceraian. Ratio legis dari diperbolehkannya saksi keluarga memberikan keterangan adalah karena rumah tangga adalah urusan yang sangat privat sehingga yang benar-benar mengetahui keadaan rumah tangga adalah para pihak dan keluarga para pihak yang berperkara itu sendiri.
Dari pendekatan filosofis maka dapat diambil kesimpulan bahwa para pihak yang berperkara seharusnya dapat mengajukan keluarga sebagai saksi terlepas dari alasan perceraian apa pun sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) oleh karena hanya saksi keluargalah yang benar-benar mengetahui kondisi dan peristiwa yang terjadi di dalam rumah tangga para pihak. Frasa “dapat” diartikan bahwa mengajukan saksi keluarga dalam perceraian pada umumnya bukan merupakan suatu kewajiban.”
3. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara. Sebagai alat bukti, Pengakuan mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur dalam pasal 174,175 dan 176 HIR, 311,312 dan 313 R.Bg dan pasal 1923-1928 BW.
Menurut Prof. MR.A.Pitlo sebagaimana yang dikutip oleh Teguh Samudera,SH mengemukakan bahwa: Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia mengakui apaapa yang dikemukakan oleh pihak lawan. Dengan adanya pengakuan dari salah satu pihak maka tidak diperlukan lagi suatu pembuktian. (Pasal 1923 KUHPerdata, Pasal 174 HIR).
Dalam perkara perdata perceraian, jawaban dari tergugat/termohon memang adanya suatu perselisihan dapat dianggap pengakuan terbuktinya dalil-dalil dari penggugat/pemohon adanya perselisihan, hal ini dapat dilihat pada yurisrudensi Mahkamah Agung Nomor 814K/AG/2015, dalam pertimbangan tingkat banding menjadikan jawaban tergugat sebagai pengakuan bahwa rumah tangganya telah retak (terjadi pertengkaran) dijadikan alat bukti pengakuan sebagaimana pasal 311 Rbg untuk membuktikan gugatan penggugat terbukti dengan sempurna.
Namun, penerapan alat bukti pengakuan yang mengakui rumah tangganya terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam perceraian tidak selalu dianggap sebagai bukti mutlak adanya perselisihan dalam perkara perceraian yang lain, akan tetapi paling tidak dianggap sebagai bukti permulaan untuk menguatkan persangkaan hakim, oleh karenanya penggugat/pemohon tetap dibebani untuk menghadirkan alat bukti yang lain.
4. Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR dijelaskan bahwa, persangkaan saja yang tidak berdasarkan sesuatu peraturan perundang-undangan yang tertentu hanya harus diperhatikan oleh hakim waktu menjatuhkan keputusan, jika persangkaan itu penting, saksama, tertentu dan satu sama lain bersetujuan.
Alat bukti persangkaan dalam hukum acara perdata terdapat 2 macam yaitu sebagai berikut:
5. Alat Bukti Sumpah
Pengertian Sumpah seperti apa yang tercantum dalam Pasal 1929 adalah suatu pernyataan hikmat yang dikemukakan secara sungguh-sungguh dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan yang memberikan sumpah.
Di dalam Hukum Acara Perdata dikenal ada 2 macam sumpah, yaitu:
Selain 2 macam sumpah diatas, khusus dalam perkara perceraian bagi pasangan muslim, dikenal juga Sumpah Li’an. Sumpah ini tidak didapat di Peradilan Umum tetapi didapat di Peradilan Islam karena sumbernya dari Al-Qur’an, surat 24, An-Nur, Ayat 6-9. Dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989 pasal 87 dan 88 diatur tentang sumpah li’an ini, yaitu dimasukkan pada judul pasal “cerai dengan alasan Zina”.
[1] http://www.pn-tanahgrogot.go.id/info-perkara/uncategorised/ketentuan-mengenai-saksi-keluarga-dalam-perceraian#:~:text=Kesimpulan%3A-,1.,saksi%20keluarga%20dalam%20perkara%20perceraian.