Disarikan oleh: Rozy Fahmi, SH., MH
Founder RFA Law Office
Contradictoire Delimitatie merupakan asas dalam tahapan proses permohonan sertipikat hak atas tanah (HAT) yang wajib dipenuhi, dimana pada saat proses pengukuran dilakukan wajib menghadirkan pemilik tanah yang bersebelahan dengan bidang tanah yang dimohonkan untuk menetapkan batas bidang tanah yang bersebelahan sesuai dengan kesepakatan pemilik bidang tanah yang dimohon penerbitan sertifikat dan disaksikan oleh Pemerintah setempat.
Penerapan asas ini berkaitan erat dengan penerapan asas konsensualitas, asas konsensualitas sendi berasal dari kata konsensus yang berarti sepakat kata ini memiliki arti ”suatu perjanjian sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan”, dengan demikian perjanjian batas tanah yang dilakukan sudah sah apabila sudah sepakat sehingga perjanjian yang dibuat secara sah tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan masing-masing harus memenuhi kewajiban untuk menjaga letak batas bidang tanah. Oleh karena itulah, kehadiran dan persetujuan pemilik tanah yang berbatasan merupakan sebuah keharusan dalam pendaftaran tanah;
Kepastian hukum obyek hak atas tanah tidak akan terwujud jika tidak dilaksanakan asas Contradictoire Delimitatie. Sebelum batas-batas bidang tanah diukur dan dipeta pada peta-peta kadaster harus diadakan penetapan batas terlebih dahulu oleh Pejabat Pendaftaran Tanah atau Kepala Desa dengan para pihak yang mempunyai tanah disebelahnya. Jadi, sebelum pengukuran sebidang tanah dilaksanakan terlebih dahulu harus ditetapkan batas-batas bidang tanah tersebut pihak-pihak yang berbatasan di hadapan petugas ukur dengan menunjukkan batas-batas yang disetujui atau disepakati oleh semua pihak. Setelah penetapan batas dan persetujuan bersama dicapai maka pengukuran dilaksanakan.Cara penetapan batas yang demikian disebut penetapan batas secara Contradictoire Delimitatie. Dengan demikian, pendaftaran pihak-pihak dalam daftar buku tanah dilakukan setelah bidang-bidang tanah yang menjadi obyek hakhak itu diukur dan dipetakan. Dengan dijadikannya asas Contradictoire Delimitatie sebagai tahap awal pekerjaan pengukuran, maka setiap pemilik tanah harus lebih dulu memasang tanda-tanda batas tanahnya sesuai dengan persetujuan pihak-pihak yang berbatasan dengan tanahnya.
Pemasangan tanda batas ini juga harus disaksikan pejabat atau aparat yang mengetahui atau memiliki data siapa-siapa pemilik tanah yang berbatasan. Kantor Pertanahan tidak memiliki data pemilik tanah yang berbatasan bila tanah tersebut belum terdaftar data pemilik tanah yang berbatasan, bila tanah tersebut belum terdaftar data pemilik tanah yang berbatasan dimiliki oleh Kepala Desa atau Kelurahan, oleh karena itu pelaksanaan asas Contradictoire Delimitatie ini wajib disaksikan oleh aparat desa/kelurahan.
Asas Contradictoire Delimitatie dibuktikan dengan Surat Pernyataan yang ditandatangani pemilik tanah dan pemilik tanah yang berbatasan langsung serta oleh Kepala Desa atau Kelurahan. Pada saat yang sama Contradictoire Delimitatie ini disepakati pula pada Daftar Isian 201 yang dapat diperoleh dari Kantor Pertanahan, kedua bukti tertulis ini menjadi syarat untuk mengajukan pengukuran atau penetapan batas bidang tanah tersebut ke Kantor Pertanahan. Kantor Pertanahan tidak akan menerima permohonan pengukuran bila patok tanda batas yang dipasang tidak memenuhi asas Contradictoire Delimitatie. Jika dalam penetapan batas bidang tanah tidak diperoleh kesepakatan, maka dilakukan pengukuran sementara dengan batas yang nyata di lapangan, namun apabila sudah diperoleh kesepakatan atau diperoleh kepastian berdasarkan putusan pengadilan, diadakan penyesuaian data pada peta pendaftran yang bersangkutan.[1]
Asas Contradictoire Delimitatie diakui dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada Pasal 17, 18 dan 19, selain itu juga diatur dalam Pasal 19 ayat (6) dan (7) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.
[1] Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Cetakan Kedua, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal.143