Disarikan oleh: Rozy Fahmi, SH., MH
Founder & Partner RFA Law Office
Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.[1] Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum, kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happines), yang tidak mempermasalahkan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.[2] Penganut aliran Utilitarianis mempunyai prinsip bahwa manusia akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata.[3]
Berbicara tentang Positivisme Hukum, maka karya yang paling lengkap dan penting mengenai usaha untuk menerapkan sistem analitis positivism dalam ilmu hukum negara-negara modern adalah karyanya seorang ahli hukum Inggris John Austin, The Province of Jurisprudence Determined. Dalam memberikan rumus tentang hukum, Austin mengganti, “cita-cita tentang keadilan-keadilan (ideal of justice) dengan ‘perintah yang berdaulat’ yaitu Negara, command of the sovereign (i.e. the State). Law being having power over him “. Hukum adalah satu peraturan yang dibuat untuk dipergunakan sebagai pedoman makhluk berakal, oleh makhluk berakal yang mempunyai kekuasaan terhadapnya).[4]
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.[5]
Adapun yang menjadi pendukung aliran Utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi kesusahan. Kebaikan adalah kebahagiaan, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan kebahagiaan dan kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya memelihara kegunaan. Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu diperhatikan.[6]
Tokoh aliran Utilitarianisme lainnya adalah John Stuart Mill. Pemikiran Mill banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis, yang pada awalnya dikembangkan oleh ayahnya sendiri, James Mill. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan. Dalam sejarah filsafat, Mill sering digolongkan sebagai penganut Positivisme. Hal ini dapat dimengerti karena Mill sangat dipengaruhi oleh pemikiran Positivisme dari Auguste Comte.[7] Tokoh aliran Utilitarianisme terkemuka lainnya adalah Rudolf von Jhering yang mengembangkan ajaran yang bersifat sosial. Teori von Jhering merupakan gabungan antara Bentham, Stuart Mill, dan Positivisme Hukum dari John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham, dengan melukiskannya sbeagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan, tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang lain.[8]
[1] Lilik Rasyidi dalam Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta , 2010, Hal. 59.
[2] Muh. Erwin, Filsafat Hukum ; Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Rajawali Press, Jakarta,2011, Hal.179.
[3] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, Hal. 100
[4] Soetikno, Filsafat Hukum bagian I, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, Hal.55
[5] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Hal. 97
[6] Ibid, Hal. 101
[7] Ibid, Hal. 102
[8] Ibid, Hal. 104.