Jangan Panik Menghadapi Gugatan Di Pengadilan
Menghadapi gugatan hukum atau gugatan wanprestasi dari seseorang tidak boleh direspon secara gegabah, panik, takut, cemas dan perasaan takut lainnya karena jika salah merespon atau salah langkah maka kemungkinan yang terjadi adalah akan menambah kerumitan terhadap kasus itu sendiri. Kasus yang mungkin bisa diselesaikan melalui mediasi di pengadilan atau musyawarah secara kekeluargaan menjadi sangat rumit karena respon dan langkah yang diambil kurang tepat. Oleh sebab itu, sebelum berbicara mengenai langkah apa yang harus dilakukan ketika berada di pihak tergugat, alangkah lebih lebih baiknya mengetahui terlebih dahulu apa itu gugatan dan apa dasar penggugat menggugat seseorang.
Gugatan menurut Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan mengandung sengketa di antara kedua belah pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan diminta untuk diselesaikan dalam gugatan merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak.[1] Biasanya sengketa atau perselisihan para pihak tersebut terjadi karena salah satu pihak lalai dalam menjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) perjanjian adalah “Suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.” Namun apa yang diperjanjikan tidak boleh melanggar Pasal 1337 yang menyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.”
Adapun menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Segi-Segi Hukum Perikatan, suatu perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk melaksanakan suatu prestasi.[2]
Berdasarkan rumusan pasal dan pendapat tersebut diatas maka perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perikatan ditimbulkan karena adanya hubungan kontraktual yang sengaja dibuat dan disepakati oleh para pihak. Namun jika dalam pelaksanaan perjanjian tersebut salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya atau tidak melakukan prestasi sebagaimana yang diperjanjikan maka pihak yang dirugikan dapat melakukan gugatan di Pengadilan.
Menyambung apa yang sudah dijelaskan dalam paragraph pertama, jika berada di pihak tergugat harus dalam keadaan tenang, tidak panik, dan cemas dan selain itu tidak boleh juga gegabah dalam mengambil keputusan. Sebelum mengambil langkah, berikut ini adalah beberapa hal yang harus dilakukan diantaranya : Pertama, Mingidentifikasi letak kesalahan, Kedua, Pelajari dasar penggugat menggugat, Ketiga, Tawarkan solusi perdamaian saat di somasi atau saat melakukan mediasi di Pengadilan.
- Mengidentifikasi Letak Kesalahan
Sebagaimana telah dijelaskan tersebut diatas, jika berada dipihak tergugat karena dianggap lalai dalam memenuhi kewajiban sebagaimana yang disepakati maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi letak kesalahan, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah kita benar-benar lalai dalam memenuhi kewajiban atau prestasi sebagaimana yang disangkakan penggugat atau memang kita tidak lalai dalam memenuhi kewajiban. Jika sudah melakukan identifikasi letak kesalahan dan menemukan bahwa kita tidak lalai dalam memenuhi kewajiban, maka akan sangat mudah membantah apa yang disangkakan penggugat.
- Pelajari Dasar Penggugat Menggugat
Selain mengidentifikasi letak kesalahan, hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah mempelajari dasar penggugat menggugat. Jika sudah dipelajari dan mengetahui dasar gugatannya, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengumpulkan atau menyiapkan bukti-bukti untuk membantah apa yang disangkakan penggugat. Namun jika yang disangkakan oleh penggugat benar adanya maka dapat menempuh jalur perdamaian dengan cara menawarkan solusi perdamaian kepada penggugat.
- Tawarkan Solusi Perdamaian Saat di Somasi Atau Saat Melakukan Mediasi di Pengadilan
Sebelum seseorang digugat di Pengadilan biasanya penggugat akan melakukan somasi terlebih dahulu kepada calon tergugat. Surat ini dikenal dengan surat somasi yang diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa “Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”
Jonaedi Efendi dalam Kamus Istilah Hukum Populer menilai somasi merupakan langkah efektif untuk menyelesaikan sengketa sebelum pengajuan perkara ke pengadilan dilakukan karena somasi bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada calon tergugat untuk berbuat atau menghentikan suatu perbuatan yang dituntut.
Jika pada saat proses somasi yang dilakukan oleh penggugat tidak menemui titik temu tentang cara penyelesaian sengketa atau perselihan maka dapat mengajukan lagi solusi perdamain kepada penggugat pada saat mediasi dilakukan. Mediasi sendiri merupakan alternatif penyelesaian sengketa antara para pihak yang bersengketa atau berselisih.
Di Indonesia mengenal 2 jenis mediasi diantaranya, Pertama, Mediasi di luar pengadilan biasanya ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat Mediasi Nasional. Kedua, Mediasi yang berada di dalam pengadilan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2008 yang mewajibkan ditempuhnya proses mediasi sebelum pemeriksaan pokok perkara perdata dengan mediator terdiri dari hakim-hakim Pengadilan Negeri tersebut yang tidak menangani perkaranya.
Jika dalam proses media tersebut tidak juga menemui titik temu tentang cara penyelesaian sengketa atau perselisihan yang timbul antara penggugat dan tergugat, maka perkara yang digugat oleh penggugat tersebut akan di disidangkan dan kemudian di putus oleh Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut.
[1] Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1986, hal. 46
[2] M. Yahya Harahap, hal. 3